Setelah wafatnya orang-orang yang dicintainya Allah, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, dalam kitabnya fiqhu al-Sirah, menyatakan, “Adalah suratan taqdir Rasulullah bila orang-orang terkasih beliau, seperti Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, telah pergi dari kehidupan beliau. Orang-orang yang selama itu begitu tulus, jernih dan setia membela dan memberi perlindungan kepadanya.” Adapun hikmah dari kepergian orang-orang terkasih belaiu itu adalah:
Pertama, bahwa pertolongan, perlindungan, dan kemenangan semuanya hanya datang dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah telah berjanji untuk menolong dan melindungi Rasul-Nya dari aniaya kaum musyrik dan para musuh, baik dari kalangan manusia ada yang menlindungi Rasulullah maupun tidak Allah pasti menjaga Rasulullah dari aniaya manusia kafir maupun musyrik sehingga datang pertolongan dan kemenangan bagi Islam.
Kedua, bukanlah maksud dari perlindungan dan pertolongan manusia itu berarti tidak adanya hinaan, penistaan, atau bahkan azab yang dialami dan menimpa Rasulullah, seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّرسُوْلُ بَلِّغْ مَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Mâidah [5]: 67). Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari tindak pembunuhan, pun usaha-usaha bengis musuh Islam dalam menghalangi dakwah islamiyah.[2] Di ayat yang lain Allah berfirman,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَ # فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السَّاجِدِيْنَ
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat).” (QS al-Hijr [15]: 97-98).[3]
Wafatnya orang-orang terkasih Rasulullah membuat hati beliau sedih dan berduka. Namun jika hal itu dikaitkan dengan sebab terjadinya isra’ dan mi’raj sesungguhnya sangatlah tidak sepadan dengan keagungan nilai-nilai mi’raj itu sendiri. Peristiwa isra’ dan mi’raj yang dialami Rasulullah adalah sebauh momen kehidupan terbesar yang dialami Rasulullah sepanjang hidupnya, dan hikmah isra’ dan mi’raj lebih agung dan mulia ketimbang hanya sekedar untuk menghibur dan memperjalankan Rasulullah dari kepedihan yang menimpa beliau. Dalam kondisi psikologis seperti itu, sah-sah saja jika ada para pemikir, juga para ulama yang mengtakan bahwa perjalanan agung tersebut adalah sebagai usaha pelipur lara bagi Rasulullah. Numun hal itu bukanlah maksud utama (tujuan pokok) dari perjalanan isra’ dan mi’raj. Kesedihan yang ada hanyalah sebuah unsur dan bumbu-bumbu perjalanan yang ada dan direnungkan adalah mencari hikmah yang tersirat dua ayat al-Qur’an:
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ
“…Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS al-Isrâ’ [17]: 1)
لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS al-Najm [53]: 18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar